MAKALAH FILSAPAT PENDIDIKAN POSITIVISME DISUSUN OLEH : EDUWIN SAPUTRA (A1F017042) UNIVERSITAS BENGKULU FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA 2017 KATA PENGANTAR Puji syukur atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahan rahmat dan karunianya sehingga makalah Positivisme ini telah dapat diselesaikan. makalah panduan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsapat Pendidikan. Selain itu juga sebagai pedoman bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia agar lebih mudah dipahami dan mendapatkan gambaran yang jelas Positivisme. Terimakasih saya disampaikan kepada : 1. Indrawati selaku dosen pengajar, 2. Semua pihak yang telah ikut membantu dalam penyelesaian makalah ini. Saya menyadari masih banyak terdapat kekurangan dalam makalah ini untuk itu kritik dan saran terhadap penyempurnaan makalah ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat memberi maanfaat, khususnya bagi mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia dan bagi semua pihak yang membutuhkan. Bengkulu, 28 November 2017 Penulis DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Rumusan Masalah 1.3 Tujuan BAB II PEMBAHASAN 2.1 Pengertian Positivisme 2.3 Sejarah Kemunculan Positivisme 2.3 Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme 2.4 Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan 2.5 Sejarah Kemunculan Positivisme Logis BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan 3.2 Penutup DAFTAR PUSTAKA BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Positivis merupakan istilah umum untuk posisi filosofis yang menekankan aspek faktual pengetahuan, khususnya pengetahuan ilmiah. Positivisme berasal dari kata “positif” yang artinya faktual (berdasarkan fakta-fakta). Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pernah boleh melebihi fakta-fakta. Dengan demikian, maka ilmu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan, yaitu menanyakan “hakikat” benda-benda atau “penyebab yang sebenarnya”, termasuk juga filsafat yang hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat ialah mengkoordinasikan ilmu-ilmu pengetahuan, yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja, maksud positivisme berkaiatan erat dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme pun mengutamakan pengalaman dan hanya mengandalkan fakta-fakta belaka. B. Rumusan Masalah 1. Apa pengertian Positivisme? 2. Bagaimana sejarah singkat munculnya Positivisme? 3. Bagaimana ajaran di dalam filsafat Positivisme? 4. Bagaimana konsep Positivisme dan kelemahannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan? 5. Bagaimana sejarah kemunculan Positivisme logis? C. Tujuan 1. Untuk mengetahui pengertian Positivisme 2. Untuk mengetahui sejarah kemunculan Positivisme 3. Untuk mengetahui ajaran di dalam filsafat Positivisme 4. Untuk mengetahui konsep Positivisme serta kelemahannya dalam pengembangan ilmu pengetahuan 5. Untuk mengetahui sejarah kemunculan Positivisme logis? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Positivisme Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu-ilmu alam (empiris) sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak spekuliasi dari suatu filosofis atau metafisik. Dapat pula dikatakan positivisme ialah “aliran yang bependirian bahwa filsafat itu hendaknya semata-mata mengenai dan berpangkal pada peristiwa-peristiwa positif”[1] Jadi, dapat dikatakan titik tolak pemikirannya, apa yang telah diketahui adalah yang faktual dan positif, sehingga metafisika ditolaknya, karena positif adalah dalam artian segala gejala dan segala yang tampak seperti apa adanya, sebatas pengalaman-pengalaman objektif bukannya metafisika[2] yang merupakan ilmu pengetahuan yg berhubungan dengan hal-hal yg nonfisik atau tidak kelihatan.[3] Aliran ini menurut Atang Abdul Hakim mirip dengan aliran empirisme, namun tidak menyetujui pendapat John Locke yang masih mengakui pentingnya jiwa dalam mengolah apa yang ditangkap indra. Bagi positivisme hakikat sesuatu adalah benar-benar pengalaman indra, tidak ada campur tangan yang bersifat batiniah[4]
Jadi, Positivisme adalah suatu aliran filsafat yang menyatakan ilmu alam sebagai satu-satunya sumber pengetahuan yang benar dan menolak aktivitas yang berkenaan dengan metafisik. Positivisme tidak mengenal adanya spekulasi, semua harus didasarkan pada data empiris. Karena aliran ini lahir sebagai penyeimbang pertentangan yang terjadi antara aliran empirisme dan aliran rasionalisme. Aliran positivisme ini lahir berusaha menyempurnakan aliran empirisme dan rasionalisme, dengan cara memasukkan perlunya eksperimen dan ukuran-ukuran.[5]
B. Sejarah Kemunculan Positivisme Istilah Positivisme pertama kali digunakan oleh Saint Simon (sekitar 1825). Prinsip filosofik tentang positivisme dikembangkan pertama kali oleh seorang filosof berkebangsaan Inggris yang bernama Francis Bacon yang hidup di sekitar abad ke-17. Ia berkeyakinan bahwa tanpa adanya pra asumsi, komprehensi-komprehensi pikiran dan apriori akal tidak boleh menarik kesimpulan dengan logika murni maka dari itu harus melakukan observasi atas hukum alam.
Barulah pada paruh kedua abad ke-19 muncullah Auguste Comte (1798-1857), seorang filsuf sosial berkebangsaan Perancis, yang dilahirkan di Montpellier pada tahun 1798 dari keluarga pegawai negeri yang beragama Katolik. Comte menggunakan istilah ini kemudian mematoknya secara sebagai tahapan paling akhir sesudah tahapan-tahapan agama dan filsafat dalam karya utamanya yang berjudul Course de Philosophie Phositive, Kursus tentang Filsafat Positif (1830-1842), yang diterbitkan dalam enam jilid. Melalui tulisan dan pemikirannya ini, Comte bermaksud memberi peringatan kepada para ilmuwan akan perkembangan penting yang terjadi pada perjalanan ilmu ketika pemikiran manusia beralih dari fase teologis, menuju fase metafisis, dan terakhir fase positif. Pada fase teologis (tahapan agama dan ketuhanan) diyakini adanya kuasa-kuasa adikodrati yang mengatur semua gerak dan fungsi yang mengatur alam ini. Zaman ini dibagi menjadi tiga periode: animisme, politeisme dan monoteisme. Pada tahapan ini untuk menjelaskan fenomena-fenomena yang terjadi hanya berpegang kepada kehendak Tuhan atau Tuhan-Tuhan. Selanjutnya pada zaman metafisis (tahapan filsafat), kuasa adikodrati tersebut telah digantikan oleh konsep-konsep abstrak, seperti ‘kodrat’ dan ‘penyebab’. Pada fase ini manusia menjelaskan fenomena-fenomena dengan pemahaman-pemahaman metafisika seperti kausalitas, substansi dan aksiden, esensi dan eksistensi. Dan akhirnya pada masa positif (tahap positivisme) manusia telah membatasi diri pada fakta yang tersaji dan menetapkan hubungan antar fakta tersebut atas dasar observasi dan kemampuan rasio. Pada tahap ini manusia menafikan semua bentuk tafsir agama dan tinjauan filsafat serta hanya mengedepankan metode empiris dalam menyingkap fenomena-fenomena.[6]
C. Ajaran-ajaran di dalam filsafat Positivisme Positivisme memuat nilai-nilai dasar yang diambil dari tradisi ilmu alam, yang menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat dikontrol, digeneralisasi sehingga gejala ke depan bisa diramalkan. Yang mana positivisme menganggap ilmu-ilmu alam adalah satu-satunya ilmu pengetahuan yang secara universal adalah valid. Jadi, ajaran di dalam filsafat positivisme dapat dipaparkan sebagai berikut:[7] 1. Positivisme bertolak dari pandangan bahwa filsafat positivisme hanya mendasarkan pada kenyataan (realita, fakta) dan bukti terlebih dahulu. 2. Positivisme tidak akan bersifat metafisik, dan tidak menjelaskan tentang esensi 3. Positivisme tidak lagi menjelaskan gejala-gejala alam sebagai ide abstrak. Gejala-gejala alam diterangkan berbasis hubungan sebab-akibat dan dari itu kemudian didapatkan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak tergantung dari ruang dan waktu. 4. Positivisme menempatkan fenomena yang dikaji sebagai objek yang dapat digeneralisasi sehingga kedepan dapat diramalkan (diprediksi). 5. Positivisme menyakini bahwa suatu realitas (gejala) dapat direduksi menjadi unsur-unsur yang saling terkait membentuk sistem yang dapat diamati. D. Konsep Positivisme serta Kelemahan dalam Pengembangan Ilmu Pengetahuan Konsep positivisme adalah penelitian dengan metode kuantitatif yang bersifat obyektif, dan juga Hipotetik. Di dalam konsep tersebut terdapat beberapa kelemahan yaitu sebagai berikut: 1. Analisis biologik yang ditransformasikan ke dalam analisis sosial dinilai sebagai akar terpuruknya nilai-nilai spiritual dan bahkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal ini dikarenakan manusia tereduksi ke dalam pengertian fisik-biologik. 2. Akibat dari ketidakpercayaannya terhadap sesuatu yang tidak dapat diuji kebenarannya, maka faham ini akan mengakibatkan banyaknya manusia yang nantinya tidak percaya kepada Tuhan, Malaikat, Setan, surga dan neraka. Padahal yang demikian itu didalam ajaran Agama adalah benar kebenarannya dan keberadaannya. Hal ini ditandai pada saat paham positivistik berkembang pada abad ke 19, jumlah orang yang tidak percaya kepada agama semakin meningkat. 3. Manusia akan kehilangan makna, seni atau keindahan, sehingga manusia tidak dapat merasa bahagia dan kesenangan itu tidak ada. Karena dalam positivistic semua hal itu dinafikkan. 4. Hanya berhenti pada sesuatu yang nampak dan empiris sehingga tidak dapat menemukan pengetahuan yang valid. 5. Positivisme pada kenyataannya menitik beratkan pada sesuatu yang nampak yang dapat dijadikan obyek kajiaannya, di mana hal tersebut adalah bergantung kepada panca indera. Padahal perlu diketahui bahwa panca indera manusia adalah terbatas dan tidak sempurna. Sehingga kajiannya terbatas pada hal-hal yang nampak saja, padahal banyak hal yang tidak nampak dapat dijadikan bahan kajian. 6. Hukum tiga tahap yang diperkenalkan Comte mengesankan dia sebagai teorisi yang optimis, tetapi juga terkesan lincah – seakan setiap tahapan sejarah evolusi merupakan batu pijakan untuk mencapai tahapan berikutnya, untuk kemudian bermuara pada puncak yang digambarkan sebagai masyarakat positivistic. [8]
E. Sejarah Kemunculan Positivisme Logis Positivisme logis muncul dari hasil perombakan dari positivisme yang mana Positivisme logis merupakan aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisik dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diversifikasi secara empiris.[9]
Positivisme logis adalah filsafat ilmu pengetahuan yang timbul pada abad ke-20 di Wina, ibu kota kekaisaran Habsburg dan pusat dunia musik di Austria, Eropa Tengah. Pada abad ke-19 sudah ada beberapa orang yeng memperhatikan pengembangan ilmu pengetahuan dan menulis tentang gejala ini. Namun usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan itu belum bersifat sistematis dan juga belum bertujuan menghasilkan teori. Positivisme logis adalah usaha pertama yang tertuju pada sasaran ini dan berkembang pada masa M.Schlick (1882-1936) menjadi maha guru fils afat ilmu pengetahuan induktif di Universitas Wina. Schlick membentuk kelompok bersama antara lain R. Carnap (1891-1970), ahli logika, Ph.Frank, ahli ilmu pasti, V. Kraft, ahli sejarah, H. Feigl dan F. Waismann, dua ahli filsafat. Kelompok ini disebut Der Wiener Kreis (Kelompok Wina). Pada tahun 1929 R. Carnap, bersama H. Hahn, ahli ilmu pasti, dan O Neurath (1882-1945), ahli Sosiologi menerbitkan sebuah manifes yang berjudul, Wissenschaftliche Weltauf fassung “Der Wiener Kreis” (pandangan Dunia Ilmiah, Kelompok Wina). Tulisan ini mendapat sambutan hangat di beberapa negara lain. Di Berlin, ibukota Jerman, dibentuk satu kelompok yang disebut Der Beriner Gruppe (Kelompok Berlin) yang meliputi antara lain H. Reichenbach (1891-1953), R. Von Mises dan C.G Hempel . Di Inggris A.J Ayer juga tertarik pada positivisme logis. Di Amerika Serikat C. Morris dan E. Nagel mengikuti aliran filsafat ilmu pengetahuan ini. [10]
Positivisme Logis merupakan aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis defnisi dan relasi antara istilah-istilah. Tugas pertamanya dipersiapkan untuk ilmu dan yang kedua khusus untuk filsafat. Karena menurut positivisme Logis, filsafat ilmu murni hanya sebagai suatu analisis logis tentang bahasa ilmu atau sebuah proposisi saja. Fungsi analisis ini disatu pihak, mengurangi “metafisika”, dan di lain pihak, meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Penelitian ini bertujuan menentukan isi konsep-konsep dan pernyatan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.[11] Mengenai tugas filsafat sebagai analisis logis terhadap pengetahuan ilmiah, maka berkembanglah sebuah prinsip yang disebut verifikasi atau kriteria kebermaknaan. Menurut Anyer Ihwal hubungan antara proposisi sebagai simbol dengan realitas yang disimbolkannya perlu ditempuh lewat prinsip verifikasi. Berikut prinsip-prinsip verifikasi:[12] 1. Suatu proposisi (pernyataan) dianggap bermakna manakala secara prinsip dapat diverifikasi. Arti suatu pernyataan adalah sama dengan metode verifikasinya yang berdasarkan pengalaman empiris. 2. Yang mesti dilakukan itu adalah verifikasi bukan menghasilkan suatu pernyataan yang mesti benar. Proposisi “di rumah itu ada tiga orang pencuri” adalah bermakna walaupun setelah diverifikasi ketiga pencuri itu tidak ada. Ungkapan “ John tidak akan mati” bermakna sebab kalimat itu dapat diverifikasi untuk membuktikan ketidakbenarannya secara empiris. Sebaliknya ungkapan “hari ini cuaca lebih baik daripada di luar” tidak bermakna, sebab dalam ungkapan itu sendiri terdapat kontradiksi (pertentangan). 3. Setiap pernyataan yang secara prinsip tidak dapat diverifikasi pada hakikatnya pernyataan itu tidak bermakna. Pernyataan-pernyataan metafisik tidaklah bermakna karena secara empirik tidak dapat diverifikasi, atau tidak dapat di analisis secara empirik. Kalimat metafisik God Exists bukanlah kalimat yang secara faktual bermakna. Demikian pula halnya kalimat God does not exist. BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Tujuan utama yang ingin dicapai oleh positivisme adalah membebaskan ilmu dari kekangan filsafat (metafisika). Karena ilmu hendaknya dijauhkan dari tafsiran-tafsiran metafisis yang merusak obyektivitas. Dengan menjauhkan tafsiran-tafsiran metafisis dari ilmu, para ilmuan hanya akan menjadikan fakta yang dapat ditangkap dengan indera untuk menghukumi segala sesuatu. Hal ini sangat erat kaitannya dengan tugas filsafat. Menurut positivisme, tugas filsafat bukanlah menafsirkan segala sesuatu yang ada di alam. Tugas filsafat adalah memberi penjelasan logis terhadap pemikiran. Oleh karena itu filsafat bukanlah teori. Filsafat adalah aktifitas. Filsafat tidak menghasilkan proposisi-proposisi filosofis, tapi yang dihasilkan oleh filsafat adalah penjelasan terhadap proposisi-proposisi.
Di dalam perkembangan positivisme juga muncul aliran positivisme logis yang mana aliran ini lebih menaruh perhatian pada upaya menentukan bermakna atau tidak bermaknanya suatu pernyataan dalam filsafat dan ilmu pengetahuan, bukan pada pertanyaan apakah benar atau salah. BAB IV DAFTAR PUSTAKA Alwasilah Chaedar, 2010, Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Anshari Endang Saifuddin, 1987, Ilmu Filsafat dan Agama (Surabaya: Bina Ilmu). Asmoro Achmadi, 2012, Filsafat Umum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada). http://kaylaazzrt.blogspot.co.id/2013/01/tugas-makalah-konsep-pikiraliran_1401.html, diakses 27 oktober 2015. Praja Juhaya S, 2003, Aliran­Aliran Filsafat dan Etika Prenada (Jakarta: Media). Samekto Adji, Menggugat Relasi Filsafat Positivisme dengan Ajaran Hukum Doktrinal, (Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 12 No. 1 Januari 2012), diakses 27 oktober 2015 dari http://www.undana.ac.id/jsmallfib_top/JURNAL/HUKUM/HUKUM%2020 11/108-120 1-SM.pdf. Soegiono dan Tamsil Muis, 2012, Filsafat Pendidikan (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya). Somantri Emma Dysmala, Kritik Terhadap Paradigma Positivisme (Jurnal Wawasan Hukum, Vol. 28 No. 01 Februari 2013), diakses 27 oktober 2015 dari https://www.google.com/search?q=jurnal+positivisme+filetype%3Apdf&ie=utf-8&oe =utf-8#q=Hj.+Emma+Dysmala+Somantri++KRITIK+TERHADAP+PARADIGMA +POSITIVISME Susanto, 2011, Filsafat Ilmu (Jakarta: Bumi Aksara).

Komentar

Postingan Populer